Tugas TI Pak Widodo


MAKALAH

NIKAH SIRI DI INDONESIA

 

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam dan Teknologi Informasi

Oleh :


Nama                          : Faisol Abdul Kharis
NIM                            : 13040112130125
Jurusan/Kelas            : S-1 Ilmu Perpustakaan/B

 

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2013




ABSTRAK

Nikah sangat menjaga garis hubungan antara orang tua dengan anak, sampai-sampai di surga pun yang sudah tiada lagi catatan perbuatan maksiat atau taat berlaku larangan menikahi ibu atau anak. Oleh karena itu sungguh suatu dosa besar dan cela tiada tara jika seorang bapak menzinahi anak sendiri atau anak menzinahi ibunya sendiri. Selain melanggar UU, pernikahan sirih juga sangat merugikan kaum perempuan dan anak-anak. Wanita yang dinikahi secara siri tidak berhak atas warisan suaminya. Begitu juga dengan anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan itu. Anak tersebut hanya diakui hak-haknya dari pihak ibu. Anak itu juga tidak bisa mendapat akta kelahiran karena pencatatan sipil untuk kelahiran anak mensyaratkan adanya surat nikah resmi dari Negara.

Kata kunci: nikah; nikah siri; agama; hukum nikah 


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pernikahan siri di Indonesia semakin marak terjadi, karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap ketentuan hukum positif dan hukum agama.
Agama merupakan salah satu hukum yang berlaku di negara khususnya Indonesia selain Undang-Undang itu sendiri. Hukum agama banyak yang bertentangan dengan hukum Undang-Undang, maka dari itu hukum agama yang disisi lainnya juga merupakan hukum yang tetap diberlakukan di Indonesia harus searah.
Hukum agama harus sejalan dengan hukum perundang–undangan karena negara Indonesia khususnya, mengakui beberapa agama. Dan Undang–Undanglah yang merupakan hukum tertinggi yang mengikat setiap warga negara Indonesia.
Undang–Undang adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan mengikat semua yang membuat peraturan tersebut. Dan bertujuan mengatur semua tata kehidupan atau semua yang berhubungan dengan kemanusiaan, hak dan kewajiban.
B.     Maksud dan Tujuan
Secara garis besarnya tujuan mempelajari keuntungan dan kerugian nikah sirih agar dapat memahami ketentuan nikah yang sebenarnya dan kedudukan nikah siri serta mensosialisasikan kepada masyarakat tentang aturan–aturan atau ketentuan baik dalam undang–undang maupun dalam hukum agama mengenai pernikahan.
Selain itu, agar dapat memahami berbagai macam  perbedaan pendapat dari tiga bentuk pendekatan, yaitu pendekatan secara agama (Islam), hukum (positif indonesia), dan ditinjau dari segi sosiologis kemasyarakatan.
C.    Rumusan Masalah
  1. Mengapa nikah siri marak di Indonesia ?
  2. Apa dampak dari nikah siri ?
  3. Apakah nikah siri diperbolehkan di Indonesia ?
  4. Bagaimana pandangan agama Islam dan Undang–Undang tentang nikah siri ?
  5. Apa tujuan mengangkat nikah siri sebagai judul makalah ?

BAB II
KAJIAN TEORI
A.    Pengertian Nikah
Secara etimolog, nikah berarti berkumpul, seperti perkataan orang Arab berikut ini: تناكحت الأشجار، إذا التفّ بعضها ببعض artinya: Pohon-pohon itu menikah, yakni ketika telah bertemu dan berkumpul sebagian cabang dengan lainnya (telah rindang dan saling membelit dengan cabang-cabang lainnya).
Sedangkan menurut Syara’, berikut ini pendapat beberapa ulama:
            1.      Taqiyudin Abu Bakar Muhammad Al-Husainy Al-Damasyqy
Taqiyudin Abu Bakar Muhammad Al-Husainy Al-Damasyqy dalam kitab Kifayat Al-Akhyar juz’ 2, nikah adalah aqad yang sudah dikenal yang meliputi rukun-rukun dan syarat.
            2.      Dr. Wahbah Al-Zuhayly
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, dalam kitab Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh juz’ 7 mengatakan bahwa nikah adalah, aqad yang dapat membolehkan bersenang-senang dengan wanita, seperti bersetubuh, bertemu kulit, berciuman, berpelukan dan sebagainya dengan catatan bukan muhrimnya sebab susuan atau mushaharah.
Definisi lain dari Dr. Wahbah adalah aqad yang telah ditetapkan syari’, yang telah memberi pengertian kuasa laki-laki untuk bersenang-senang dengan perempuan dan halalnya istimta’ antara perempuan dan laki-laki.
       3.      Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy Al-Irbily, mendefinisikan sebagai aqad yang di dalamnya terkandung kebolehan bersetubuh dengan lafadh nikah, zawaj atau terjemahannya.
Kesimpulannya, nikah adalah aqad yang dapat menghalalkan istimta’ seorang laki-laki dengan perempuan dengan rukun dan syarat tertentu.
Definisi penulis ini kiranya telah mencakup semua definisi di atas. Alfarisi mengatakan, bahwa kata nikah dapat berarti aqad sebagaimana definisi di atas dan dapat pula berarti bersetubuh dalam arti dua tubuh menjadi satu. Orang Arab membedakan makna keduanya dengan meneliti susunan kalimatnya. Contoh, bila dikatakan si fulan telah menikahi putri sifulan, maka yang dimaksudkan adalah aqadnya. Bila dikatakan dia telah menikahi istrinya atau perempuannya, maka yang dimaksudkan tiada lain kecuali bersetubuh.
Adapun dasar-dasar nikah antara lain adalah :
            1.      Al-Qur’an surat An-Nur ayat 32 yang berbunyi :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (laki-laki atau perempuan yang masih belum kawin) diantara kamu, dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamda sahayamu yang perempuan..”
            2.      Al-Qur’an surat Al-Nisa’ ayat 3 yang berbunyi :
“.. maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat.. .”
          3.      Hadits riwayat Bukhori dari Ibnu Mas’ud, ra. Nabi bersabda, “Wahai para pemuda, siapa diantara kamu yang sudah mampu memberikan nafkah lahir dan batin maka hendaklah ia menikah, karena sesungguhnya (nikah itu) lebih dapat menutup mata dan menjaga farji. Dan sesungguhnya puasa dapat menjadi penahan keinginan untuk bersetubuh.”
            4.      Dan lain-lain yang tidak perlu kiranya ditulis semua.
Nikah termasuk diantara syari’at-syari’at qodimah (terdahulu), dimana nikah ini telah disyari’atkan mulai dari bapak manusia yang pertama yaitu Adam as. yang akan terus berlaku hingga di surga kelak, di tempat yang tiada larangan lagi untuk mengawini muhrimnya sendiri kecuali muhrim yang dalam urutan garis vertikal, yakni ibu ke atas dan anak ke bawah. Mereka tidak boleh dikawini walau disurga sudah tiada berlaku lagi syari’at dengan arti Allah SWT tidak akan mengabulkan keinginan salah seorang penduduk surga untuk mengawini ibunya sendiri atau anak-anaknya sendiri. Demikian diterangkan dalam kitab I’anat Al-Tholobin juz’ 3 bab nikah.
B.     Tujuan Nikah
Tujuan nikah secara umum:
           1.      Melestarikan spesies manusia dengan jalan yang dibenarkan syari’at agar terhindar dari kepunahan.
           2.      Menyalurkan air mani dengan jalan yang halal dan jauh dari faktor mudlorot yang mengendapakannya tanpa penyaluran yang benar dapat mengakibatkan pengaruh negatif pada fisik.
           3.      Memenuhi kebutuhan biologis dan penyaluran nafsu sex pada jalan dan tempat yang benar.
          4.      Membentuk keluarga dengan ikatan yang kuat dan sah terlepas dari freesex dan kumpul tanpa ikatan yang sah yang menimbulkan fitnah dan kerusakan tatanan sosial.
        5.    Membina cinta kasih di atas pondasi agama untuk menciptakan kerukunan dan kerja sama  dalam menanggung beban hidup.
           6.      Menjaga hubungan kekeluargaan (nasab dengan status yang jelas).
           7.      Menjaga diri agar tidak jatuh kedalam lembah kemaksiaan.
           8.      Itulah tujuan nikah di dunia. Adapun di akhirat maka tujuannya semata-mata hanya memenuhi tuntutan bilogis untuk memperoleh kenikmatan dan kesenangan.
C.    Hukum-Hukum Nikah
  1. Fardlu/Wajib
Nikah hukumnya fardlu apabila:
a.       Yakin akan jatuh pada perzinaan bila tidak menikah.
b.      Mampu memenuhi nafkah perkawinan meliputi: mas kawin, nafkah istri (lahir dan batin) serta hak-hak istri.
c.       Tidak mempu menjaga dirinya dari kekejian (perzinaan) dengan jalan bepuasa atau semacamnya.
  1. Haram
Nikah hukumnya haram apabila:
a.       Yakin akan membuat sengsara dan aniaya terhadap istri, sebab tidak ada kemampuan dalam memenuhi tanggung jawab perkawinan.
b.      Tidak dapat berlaku adil kepada istri yang lain.
  1. Makruh
Nikah hukumnya makruh apabila terjadi kekhawatiran dengan kekhawatiran yang tidak sampai pada tingkat keyakinan akan jatuh pada bentuk penyelewengan dan mudlorot.
  1. Sunnah
Nikah hukumnya sunnah apabila seseorang bebas dari faktor-faktor penyebab terjadinya tiga hukum diatas.
Demikian tingkatan hukum nikah hasil kesimpulan dari Dr. Wahbah, yang merupakan perpaduan dari pendapat madzhab empat yang tersohor.
D.    Syarat Nikah Tanpa Wali dan Saksi.
Di dalam kitab Nail Al-Authar, dijumpai beberapa syarat berikut :
1.      Aqad nikah diselenggarakan dengan shighot mut’ah.
2.      Ditentukan masanya, misalnya sebulan, dua bulan dan seterusnya.
3.      Perempuan harus seorang janda, sedang bagi perempuan yang masih gadis maka wajib ada wali.
4.      Dalam keadaan jauh dari lingkungan keluarga (istri), misalnya pergi ke daerah lain dalam rangkaian bisnis, bertugas sebagai serdadu dan sebagainya.
5.      Adanya kekhawatiran untuk berbuat zina karena sebab pada nomor 4, atau karena istri tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai istri karena haid yang tidak teratur dan sebagainya.
6.      Tidak saling mewarisi, dan ada mas kawin (mahar).
Dalam Bidayat Al-Mujtahid, dijumpai satu syarat lain, yaitu hendaknya dimeriahkan paling tidak dengan semacam kesenian tambur (terbangan-Indonesia).
Syaikh Zainal Grogolan-Pasuruan, menambahkan satu syarat selain yang tersebut dalam Bidayat Al-Mujtahid di atas, yaitu hendaknya melakukan i’lan atau pemberitahuan minimal terhadap 40 orang di daerah ia tinggal maupun di daerah lain.
Kesimpulannya, bahwa persyaratan nikah mut’ah terpencar-pencar di berbagai kitab yang hanya merupakan lintasan pendapat atau sanggahan dari pengarang sebuah kitab.
Syarat-syarat tersebut adalah:
  1. Aqad diselenggarakan dengan shighot mut’ah
  2. Ditentukan masanya
  3. Ada mas kawin (mahar)
  4. Tidak saling mewarisi
  5. Dalam keadaan darurat
  6. Aqad diselenggarakan dengan keramaian
  7. Adanya kekhawatiran berbuat zina
  8. Harus melakukan i’lan (pemberitahuan) kepada orang paling sedikit 40 orang, baik di tempat tinggal mereka ataupaun di daerah lain
  9. Perempuan (istri) berstatus janda (sudah pernah menikah)
Sedang mengenai rukun-rukunnya adalah mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.
Itulah syarat dan rukun nikah mut’ah.
E.     Hukum-Hukum Nikah Siri
Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf di Majalah Al Furqan (Edisi 12 Tahun III hal. 42) mengatakan :
"Dari pemahaman yang berkembang di tengah masyarakat, dapat diambil kesimpulan bahwa nikah siri ada dua pengertian, yaitu :
1.      Pernikahan yang dilakukan tanpa wali
2.      Pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali namun tidak dilaporkan atau dicatat oleh pegawai KUA setempat"
Untuk pernikahan tanpa wali maka hukumnya Batal dan tidak sah. (Al Furqan Edisi 12 Th. III hal. 42).
Dari Aisyah radhiyallahu'anha berkata Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda : "Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya bathil -tiga kali." (HR Ahmad 6/156, Abu Dawud 2069, Turmudzi 1108, Ibnu Majah 1879 dengan sanad shohih, lihat Al Irwa' 6/242/1840).
Untuk pernikahan dengan adanya wali tetapi tanpa dicatatkan di KUA. Sepanjang terpenuhi syarat dan rukunnya maka pernikahannya sah.
Syarat dan rukunnya yaitu :
1.      Adanya calon suami dan calon istri.
2.      Adanya wali.
3.      Adanya dua saksi yang adil.
4.      Ijab dan Qobul.
Meski tidak dicatatkan di KUA. Kemudian menurut Ustadz Ahmad Sabiq dibagian akhir menerangkan bahwa nikah tanpa dicatat di KUA hukumnya sah secara syar'i. Tetapi selayaknya dicatatkan di KUA.
Kami kira perlu bagi kita untuk mencatatkan pernikahan di KUA untuk mendapatkan surat nikah karena untuk keperluan keperluan lain. Kalau tidak salah surat nikah itu perlu untuk pembuatan akta kelahiran anak.
Kesimpulannya hukum asal nikah tanpa wali adalah tidak sah sepanjang tidak memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan oleh UU dan Agama.
F.     Nikah Siri Menurut Pandangan Islam
Nikah siri atau nikah dibawah tangan dalam pandangan agama Islam diperbolehkan sepanjang hal-hal yg menjadi rukun terpenuhi yaitu Rukun nikah. Namun perbedaannya adalah Anda tidak memiliki bukti otentik (secara hukum Indonesia/dunia) bila telah menikah atau dengan kata lain tidak mempunyai surat sah (buku nikah) sebagai seorang warga negara yg mempunyai kedudukan yg kuat di dalam hukum namun anda tidak memilikinya. Namun perlu dipikirkan dgn sungguh-sungguh dan tak tergesa-gesa bila Anda memang ingin melakukan nikah siri. Tidak ada salahnya Anda berjuang dahulu semaksimal mungkin untuk memberikan pengertian kepada keluarga agar Anda dapat menikah secara formal. agar mendapat pengakuan secara sah di mata agama dan juga dibenarkan secara hukum di Indonesia.
Meskipun diperbolehkan oleh agama namun banyak kekurangan dan kelemahan menikah siri antara lain bagi pihak wanita akan sulit bila suatu saat mempunyai persoalan dengan sang suami sehingga harus berpisah misal, sedangkan anda tak mempunyai kuat secara hukum, maka anda tidak dapat menuntut di muka pengadilan akan kenyataan tersebut. Di samping itu bagi anak-anak kita kelak yg nanti memerlukan kartu identitas (Akta Kelahiran) dan surat-surat keterangan lain akan mengalami kesulitan bila orang tua tak mempunyai surat-surat resminya. Tuntutan hak waris dan hak asuh anak tidak dapat dituntut di muka pengadilan. Dengan kenyataan kekurangan inilah sehingga menikah siri itu dihindari.
Oleh karena jangan jadikan nikah siri hanya sebagai jalan pintas untuk keluar dengan mudah dalam mengatasi persoalan. Tetapi coba dulu untuk berjuang dan melakukan sebagaimana umumnya. dan sangat disayangkan, ternyata menikah siri belakangan ini hanya untuk menghalalkan hubungan badan dan perselingkuhan. Banyak pejabat dan orang penting di negeri ini menjalankan nikah siri hanya untuk memiliki wanita simpanan.
Bila niat seseorang menikah siri itu adalah untuk berniat jahat, seperti melukai orang lain dalam hal ini istri tua maupun istri muda, menguasai harta, menghalalkan perzinaan/perselingkuhan maka hal ini di haramkan. Karena sesuatu itu berakibat baik atau buruk tergantung dari Niatnya. Bila niat yang ditanamkan dalam hati dan penuh keyakinan adalah Ibadah maka hal itu akan menjadikan amal kebajikan.
G.    Nikah Siri Menurut Undang-Undang Perkawinan di Indonesia
Meskipun Undang-Undang Perkawinan sudah diberlakukan sejak 34 tahun lalu, praktek nikah siri terus saja berlangsung. Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Lampung, H.Nurvaif S. Chaniago mengimbau umat Islam tidak melakukan nikah siri karena melanggar UU.
"Banyak orang ingin memudahkan urusan menikah. Mungkin juga karena alasan tertentu akhirnya sebagian orang memilih untuk menikah sirih. Ini perlu diluruskan kepada umat bahwa nikah siri itu melanggar UU. Pernikahan itu sah jika sesuai dengan syarat dan rukun agama serta peraturan pemerintah," kata Nurvaif, Selasa (5-2).
Menurut Nurvaif, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan petugas sehingga pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Dilihat dari undang-undang, kata Nurvaif, hukum nikah siri adalah pelanggaran alias batal demi hukum. Alasannya, negara sudah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai perkawinan. Di dalam undang-undang itu disebutkan, perkawinan harus dicatatkan pada KUA.
"Undang-undang itu merupakan hasil penggodokan yang melibatkan unsur ulama. Karena Undang-Undang Perkawinan itu dilahirkan melalui ijtihad ulama dan untuk kemaslahatan rakyat, produk itu harus diikuti umat muslim," kata Nurvaif.
Selain melanggar UU, pernikahan siri juga sangat merugikan kaum perempuan dan anak-anak. Wanita yang dinikahi secara siri tidak berhak atas warisan suaminya. Begitu juga dengan anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan itu. Anak tersebut hanya diakui hak-haknya dari pihak ibu. Anak itu juga tidak bisa mendapat akta kelahiran karena pencatatan sipil untuk kelahiran anak mensyaratkan adanya surat nikah resmi dari Negara.
Dalam Undang -Undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tentang syarat-syarat perkawinan. Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun.
Nikah siri atau pernikahan yang dilakukan tanpa sepengetahuan pihak–pihak tertentu maka dianggap tidak mempunyai ketentuan hukum, hal ini disebabkan perkawinan dilakukan diluar ketentuan yang berlaku dalam hal ini ketentuan yang ada dalam UU no. 1 tahun 1974, dalam BAB I tentang dasar perkawinan :
Pasal 1
''Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa ''
Pasal 2
1.      Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
2.      Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kasus pernikahan sirih yang sering terjadi di masyarakat yang tidak tercatat pada register KUA yang bersangkutan, dengan demikian tindakan perdata yang timbul didalamnya tidak mendapat perlindungan hukum seperti :
  1. Perkawinan siri sendiri.
  2. Kelahiran anak-anak akan dicap anak luar kawin.
  3. Tidak berhak atas hak waris.
Pernikahan siri dapat menjadi sah apabila yang melakukan pernikahan sirih mendaftarkan kembali pernikahannya kepada KUA setempat dengan persyaratan yang berlaku. dengan demikian pernikahan tersebut telah dicatat dalam buku register perkawinan dan telah dianggap sah dalam UU.
Departemen Agama (Depag) dinilai masih tetap perlu menyosialisasikan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di sisi lain, penyuluhan dan pembinaan keberagamaan mayarakat perlu terus ditingkatkan.
"Upaya ini dimaksudkan agar pemahaman dan pengamalan terhadap UU Perkawinan menjadi lebih baik,'' kata Drs Thohir Luthfi dari Bidang Urusan Agama Islam Kanwil Depag Jateng dalam press release yang dikirim ke redaksi Suara Merdeka, Minggu (16/12).
Kanwil Depag Jateng khsusnya menjelaskan bahwa menurut UU Perkawinan nikah siri atau nikah yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dari Kantor Urusan Agama (KUA) adalah tidak sah.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
  1. Nikah adalah syari’at umat-umat terdahulu yang akan berlaku      sampai di surga.
  2. Nikah di surga boleh dengan muhrim sendiri kecuali ibu keatas dan anak ke bawah.
  3. Nikah sangat menjaga garis hubungan antara orang tua dengan anak, sampai-sampai di surga pun yang sudah tiada lagi catatan perbuatan maksiat atau taat berlaku larangan menikahi ibu atau anak. Oleh karena itu sungguh suatu dosa besar dan cela tiada tara jika seorang bapak menzinahi anak sendiri atau anak menzinahi ibunya sendiri.
  4. Selain melanggar UU, pernikahan sirih juga sangat merugikan kaum perempuan dan anak-anak. Wanita yang dinikahi secara siri tidak berhak atas warisan suaminya. Begitu juga dengan anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan itu. Anak tersebut hanya diakui hak-haknya dari pihak ibu. Anak itu juga tidak bisa mendapat akta kelahiran karena pencatatan sipil untuk kelahiran anak mensyaratkan adanya surat nikah resmi dari Negara.
  5. Tujuan Nikah siri adalah mengatasi kebutuhan sex.
B.     Saran










DAFTAR PUSTAKA

Sidik, Abdullah. 1983. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta : Tintamas.
Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam dan Undan-Undang.
            Yogyakarta : Liberty.
Artikel dalam Suara Merdeka. 2007. Depag Perlu Sosialisasikan UU 1 / 1974.
            Semarang : Harian Suara Merdeka.
1976. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Chandraleka. 2006. Nikah Siri. Independent
                        IT writer : Visit http : //come.to/
                        Digitalworks a source jor
                        Computer habbyst.Belajar Islam.Com.
http://amirsyampa.blogspot.com/2012/01/makalah-nikah-sirih.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar